Jumat, 07 Juni 2013

PEMBANGUNAN DAERAH DKI JAKARTA


PEMBANGUNAN DAERAH DKI JAKARTA

Memindahkan kelompok sasaran dari permukiman kampung ke permukiman teknokratik seperti rumah susun, hendaknya mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya secara komprehensif, juga melibatkan calon penghuni rumah susun dalam proses perencanaan, yang selama ini cenderung dikesampingkan. Rancangan yang baik itu misalnya dengan melibatkan penumpang dalam ruang kemudi, arah dan tujuan dibahas bersama antara pengemudi dan penumpang. Sementara itu, perubahan sosial yang tak terelakkan pasti akan terjadi, karena yang dipindahkan bukanlah barang. Mereka berasal dari permukiman padat, dan terkadang kumuh, tapi penuh dengan nilai-nilai sosial, seperti keeratan dan keakraban. Almarhum Prof. Selo Soemardjan pernah berpendapat bahwa tinggal di rumah susun itu merasa jauh dari tetangga, sekalipun fisik berdekatan dan tinggal di rumah susun tidak sebebas tinggal di permukiman kampung.

Ada dua fakta penting tentang permukiman kaum miskin kota di ruang publik Jakarta

Fakta pertama, kaum miskin kota umumnya bermukim dekat dengan tempat/sumber pekerjaan. Sebagai contoh, di permukiman Muara Baru di tepi Waduk Pluit yang saya kunjungi, satu blok dihuni warga asal Makassar yang bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sementara satu blok lagi dihuni oleh warga yang mengerjakan pesanan pabrik di sekitar sana (misalnya mengemas mainan plastik).

Fakta kedua, permukiman di ruang publik tidak muncul tiba-tiba dan sekaligus banyak. Mereka tumbuh perlahan, selama belasan bahkan puluhan tahun. Para pemukim umumnya sadar bahwa mereka “bersalah” menduduki ruang publik. Tetapi, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus tinggal dekat sumber pekerjaan, sumber kehidupan.


Analisis Catatan : Di Jakarta, bahkan Indonesia bukan hanya kaum miskin yang sering menduduki ruang publik. Orang kayapun dan pihak perusahaan juga melakukan hal yang sama. Terlalu panjang untuk membahas bagaimana eksploitasi kapitalistis menghasilkan kondisi seperti ini, tetapi pokok soalnya adalah bahwa dengan penghasilan yang mereka dapat, tidak mungkin mereka mencari sendiri hunian yang layak secara formal. Mereka tak ada pilihan selain membangun hunian sendiri dengan bahan apa adanya di atas lahan publik.