Finally, kesampean juga mengunjungi Taman Wisata Alam Angke Kapuk, setelah ditunda dan gagal berulang kali.
Singkat cerita, saya berhasil
ngomporin teman-teman. Bahwa di Jakarta tuh ada lho tempat yang bagus banget
dan belum banyak orang yang tahu tempat tersebut. Wisata alam yang cocok buat
menghilangkan penat jika tidak punya cukup banyak waktu untuk keluar kota, dan
yang pasti murah.
Jam 8 pagi pada tanggal 4 oktober,
kami janjian di Sunter rumah salah satu temen kita yg paling kelimis rambutnya
yaitu Rama Adipura. Dan karena saya yang ngajak, jadilah saya ditunjuk sebagai
guide. Tapi ya gapapa deh, asal bisa kumpul bareng.
Mereka semua sebenarnya anak gundar
teman tingkat 1 saya berhubung waktu yg selalu memisahkan kita ya dari liburan
singkat ini kita dipertemukan untuk berkumpul.
Tettttt… jam 8 pagi, dan belum ada
yang sampai ditempat janjian. Ada yang masih ribet sama perlengkapannya, ada
yang bingung sama rumahnya rama.. hahha..benar benar menghibur.. :mrgreen:
Akhirnya jam 9 lebih semua sudah
berkumpul. Voiiilaaa..terkumpullah pasukan dengan jumlah 6 orang. Karena ada
yang belum sarapan dari rumah tentunya mereka harus sarapan dulu, untungnya ada
penjual soto di pinggir jalan didekat rumah rama tersebut.
Dan kamipun berangkat menggunakan 3
motor sepiring berdua haha saling berboncengan maksutnya. Dalam perjalanan
kamipun menikmati perjalanan sampai pada akhirnya kebiasaan lama orang
indonesia yaitu pergi tanpa arah wkwk.
Ohhho.. maaf kepada teman-teman
karena guidenya kurang teliti untuk menuju PIK kita berputar putar layaknya
bukan orang jakarta setelah berjam jam lamanya mengendarai motor. Akhirnya kami
mengikuti opsi : “jalan sekitar 500 meter dari
pintu masuk PIK maka teman-teman akan menemukan hutan mangrovenya jakarta.”
Taraaaa….ketemu. Didepannya
tertulis “bla..blaa..blaa Muara Angke..bla..bla..”
“Yayyy..kita
sampai”
“Owh..ini tho
hutan mangrovenya. Ayo kita kemooon”.
Kami terlalu bersemangat!
Pada awalnya agak heran, kenapa tempat itu amat sangat sepi.. ya setidaknyakan
ada petugas penjaga pintu masuk, ada pengunjung yang lain. Ini tidak, kami
disambut oleh sekawanan monyet. Pintu kayu yang sudah agak usang dengan posisi
dirantai, digembok. Padahal sudah hampir jam 10, masa sih belum buka. ha? haa?
haaa?
“Ini
Balai Konservasi, kalau mau ke taman wisatanya masih kesana lagi, sekitar
2 km dari sini. Tapi kalau adek-adek mau masuk disini, nanti bapak masukkan,
biaya administrasi Rp 10.000 per orang.” Jelas, si bapak
menerangkan dengan sangat jelas. Tapi balik lagi, kami terlalu pede.
“Owh..ya gapapa
Pak. Kita masuk dari sini aja, nanti di dalam bisa nembuskan ke taman
wisatanya? ya gapapa, masuk sini aja Pak.”
“Ya nanti
Bapak masukkan, tapi taman wisatanya masih 2 km dari sini.” Si bapak, saya kira selain mengharapkan uang masuk, juga bingung
bagaimana menerangkannya pada kami. Bahwa taman wisata masih 2 km dari sini, BUKAN
DISINI MASUKNYA. Haha..astaga.
Singkat kata, kami berhasil
masuk – HUTAN MANGROVE. Aroma asin air laut bercampur sampah dikiri kanan jalan
setapak menyambut kami dengan ramah. Sepanjang jalan kami bercengkrama ria,
tergelak karena harus ekstra hati-hati menapak langkah demi langkah pada jalan
setapak yang mulai lapuk termakan usia.
Yapss… tempat ini sudah tua dan
tidak terawat. Jalan setapak yang terbuat dari potongan-potongan papan itu
terlihat usang, rapuh, dan bolong dimana-mana. Di tempat-tempat tertentu, kami
tidak boleh berkumpul disatu titik agar tidak terperosok ke rawa. Setelah agak
masuk kedalam, ternyata tak cukup pohon yang bisa melindungi kami dari sengatan
matahari. Sangat panas. Namun kami masih menyimpan segenggam asa, semoga tempat
ini terhubung ke taman wisata yang sebenarnya -koplak banget gak sih? Maka
sampailah kami diujung jalan, jalan setapak terputus Kapten.
Ahhaha..saya sendiri cuma bisa
mesem, nyinyir nyengir gak jelas. Karena medan yang cukup melelahkan, kami
putuskan untuk beristirahat sejenak sambil merundingkan langkah selanjutnya.hahha
A : “aaa iii uuu ee oooo…bla bla bla?
B :
owhh…bla bla laaaa laa laa..
C : haaa…?? (kira kira seperti itulah perundingannya). Ditengah perundingan itu
saya putuskan menelpon pengembang TWA langsung (kebetulan tertera di brosur
yang bapak kasih).
Kemudian, “Oke
fix, kita salah tempat. Kita harus keluar dari sini lalu naik angkot lagi buat
kesana. Anggap saja yang ini sebagai pemanasan.. ahhaha..” untung ga ada
yang menuntut kegagalan saya sebagai guide #lapkeringat.
“Kan kita udah
masuk nih, nanti disana bayar lagi gak?” tanya satrio. “Uuuumm…sepertinya sih bayar lagi deh, kan beda tempat.”
saya mencoba memberikan informasi yang semoga tidak salah. Maka kamipun
beriringan menuju pintu keluar.
Dan AKHIRNYA
JENG,, JENG,, JENG,, sampai juga di TAMAN WISATA ALAM MAGROVE. Masuk TWA, kita dikenai biaya sebesar Rp 15.000,-/orang. Yang mau
sholat tidak usah khawatir karena disana ada mushola yang bisa dibilang cukup
apik. (Aslinya saya sangat senang dengan musholanya).
Memasuki area mushola kita harus
membuka alas kaki. Dan siapkan mental untuk melewati hamparan papan panas yang
menyengat di area tersebut. :mrgreen:
Dari mushola ini kita bisa
menikmati teduhnya suasana. Air di bawahnya cukup bening sehingga bisa untuk
mengawasi gerombolan ikan yang sedang mencari makan. Dari sini juga kita bisa
menikmati indahnya jingga – senja.
Lanjut, kita menuju gerbang masuk.
Disana semua makanan dan minuman harus dititip. Jangan khawatir kelaparan atau
kehausan karena didalam banyak yang jualan. Oya, kita tidak boleh membawa
kamera digital. Hanya kamera HP yang diperkenankan dibawa. Tapi kalau memang
berniat hunting photo, kita dikenai biaya masuk 1jt.
Saat itu kami kurang beruntung.
Hujan lebat bercampur angin mengguyur TWA dan sekitarnya padahal kami belum
sempat mengeksplore hutan mangrove. Alhasil waktu satu jam terlewatkan dan ini
beberapa photo kami bersama ketika hujan belum mengguyur kami ...
Picture 1
Picture 2
Dan disini kami terlihat konyol
walaupun kekonyolan itu yg kami cari ...
Picture 3
Selvy MAHABARATA pun akhirnya
menjadi pose terakhir saya dengan begitu banyaknya pose-pose, disini saya lebih
terlihat seperti ARJUNA hehe ...
Picture 4
Saat hujan agak reda, kami
memutuskan langsung menuju pantai karena waktu yang tersisa tak lagi mencukupi.
Untuk mencapai pantai hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Kita dikelilingi
lebatnya pohon mangrove dikiri kanan jalan setapak.
Lembab, sepi, hujan dan hutan,
otomatis memberikan efek damai yang dramatis bagi setiap pengunjung. Untuuuuung
tempat ini belum terlalu populer dikalangan masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Karena apa? Sebab jika terlalu banyak pengunjung, efek suasana alaminya justru
akan terkikis.
Di tepi pantai dibuatkan semacam
saung untuk berteduh. Dari sini kita bisa mengamati pemandangan pantai yang
cukup “menarik”.
Sebagian lahan yang tidak jauh
letaknya dari saung itu kita dapat menyaksikan alat-alat berat yang sedang
menyulap lahan gambut itu menjadi bangunan elit. Bagaimana bisa? #jujur saya
lelah bicara tentang birokrasi negara ini. Apapun bisa jadi asal ada uang,
kekuasaan, negosiasi lalu balik lagi ke uang. hufffhh
Dan mengenai air laut yang keruh,
sampah berserakan dimana-mana juga merupakan hal yang melelahkan untuk dibahas.
Melelahkan, bikin greget sendiri.
Tapi, setidaknya masih ada sisi alami
yang masih tersisa, yang masih nikmat untuk dinikmati. Bahwa Kota metropolitan
Jakarta masih punya hutan mangrove. Jauh lebih baik dibanding kebisingan
jalanan ibukota [yaiyaaalah..hahha].
Baca juga Hutan
Mangrove, untuk info lainnya mengenai TWA.
Note : yang saya bicarakan disini
merupakan sisi yang mengarah ke pantai, sesuai petunjuk plang yang ada di TWA.
Masih ada sisi lain yang jauh lebih indah, terdiri dari hutan mangrove, gardu
pandang, rumah rumbia dan yang lainnya – yang sayangnya kami terkendala waktu
sehingga tidak sempat mengeksplore. Lain waktu pengen main kesana lagi.