Selasa, 21 Oktober 2014

LIBURAN TAMAN WISATA ALAM MAGROV


Finally, kesampean juga mengunjungi Taman Wisata Alam Angke Kapuk, setelah ditunda dan gagal berulang kali.
 
Singkat cerita, saya berhasil ngomporin teman-teman. Bahwa di Jakarta tuh ada lho tempat yang bagus banget dan belum banyak orang yang tahu tempat tersebut. Wisata alam yang cocok buat menghilangkan penat jika tidak punya cukup banyak waktu untuk keluar kota, dan yang pasti murah.

Jam 8 pagi pada tanggal 4 oktober, kami janjian di Sunter rumah salah satu temen kita yg paling kelimis rambutnya yaitu Rama Adipura. Dan karena saya yang ngajak, jadilah saya ditunjuk sebagai guide. Tapi ya gapapa deh, asal bisa kumpul bareng. 

Mereka semua sebenarnya anak gundar teman tingkat 1 saya berhubung waktu yg selalu memisahkan kita ya dari liburan singkat ini kita dipertemukan untuk berkumpul.

Tettttt… jam 8 pagi, dan belum ada yang sampai ditempat janjian. Ada yang masih ribet sama perlengkapannya, ada yang bingung sama rumahnya rama.. hahha..benar benar menghibur.. :mrgreen:

Akhirnya jam 9 lebih semua sudah berkumpul. Voiiilaaa..terkumpullah pasukan dengan jumlah 6 orang. Karena ada yang belum sarapan dari rumah tentunya mereka harus sarapan dulu, untungnya ada penjual soto di pinggir jalan didekat rumah rama tersebut.

Dan kamipun berangkat menggunakan 3 motor sepiring berdua haha saling berboncengan maksutnya. Dalam perjalanan kamipun menikmati perjalanan sampai pada akhirnya kebiasaan lama orang indonesia yaitu pergi tanpa arah wkwk.

Ohhho.. maaf kepada teman-teman karena guidenya kurang teliti untuk menuju PIK kita berputar putar layaknya bukan orang jakarta setelah berjam jam lamanya mengendarai motor. Akhirnya kami mengikuti opsi : “jalan sekitar 500 meter dari pintu masuk PIK maka teman-teman akan menemukan hutan mangrovenya jakarta.”

Taraaaa….ketemu. Didepannya tertulis “bla..blaa..blaa Muara Angke..bla..bla..”

“Yayyy..kita sampai”

“Owh..ini tho hutan mangrovenya. Ayo kita kemooon”.

 Kami terlalu bersemangat! Pada awalnya agak heran, kenapa tempat itu amat sangat sepi.. ya setidaknyakan ada petugas penjaga pintu masuk, ada pengunjung yang lain. Ini tidak, kami disambut oleh sekawanan monyet. Pintu kayu yang sudah agak usang dengan posisi dirantai, digembok. Padahal sudah hampir jam 10, masa sih belum buka. ha? haa? haaa?

 “Ini Balai Konservasi, kalau mau ke taman wisatanya masih kesana lagi, sekitar 2 km dari sini. Tapi kalau adek-adek mau masuk disini, nanti bapak masukkan, biaya administrasi Rp 10.000 per orang.” Jelas, si bapak menerangkan dengan sangat jelas. Tapi balik lagi, kami terlalu pede.


“Owh..ya gapapa Pak. Kita masuk dari sini aja, nanti di dalam bisa nembuskan ke taman wisatanya? ya gapapa, masuk sini aja Pak.”
 “Ya nanti Bapak masukkan, tapi taman wisatanya masih 2 km dari sini.” Si bapak, saya kira selain mengharapkan uang masuk, juga bingung bagaimana menerangkannya pada kami. Bahwa taman wisata masih 2 km dari sini, BUKAN DISINI MASUKNYA. Haha..astaga.

Singkat kata, kami berhasil masuk – HUTAN MANGROVE. Aroma asin air laut bercampur sampah dikiri kanan jalan setapak menyambut kami dengan ramah. Sepanjang jalan kami bercengkrama ria, tergelak karena harus ekstra hati-hati menapak langkah demi langkah pada jalan setapak yang mulai lapuk termakan usia.

Yapss… tempat ini sudah tua dan tidak terawat. Jalan setapak yang terbuat dari potongan-potongan papan itu terlihat usang, rapuh, dan bolong dimana-mana. Di tempat-tempat tertentu, kami tidak boleh berkumpul disatu titik agar tidak terperosok ke rawa. Setelah agak masuk kedalam, ternyata tak cukup pohon yang bisa melindungi kami dari sengatan matahari. Sangat panas. Namun kami masih menyimpan segenggam asa, semoga tempat ini terhubung ke taman wisata yang sebenarnya -koplak banget gak sih? Maka sampailah kami diujung jalan, jalan setapak terputus Kapten.

Ahhaha..saya sendiri cuma bisa mesem, nyinyir nyengir gak jelas. Karena medan yang cukup melelahkan, kami putuskan untuk beristirahat sejenak sambil merundingkan langkah selanjutnya.hahha
 A : “aaa iii uuu ee oooo…bla bla bla?
 B : owhh…bla bla laaaa laa laa..
C : haaa…?? (kira kira seperti itulah perundingannya). Ditengah perundingan itu saya putuskan menelpon pengembang TWA langsung (kebetulan tertera di brosur yang bapak kasih).

Kemudian, “Oke fix, kita salah tempat. Kita harus keluar dari sini lalu naik angkot lagi buat kesana. Anggap saja yang ini sebagai pemanasan.. ahhaha..” untung ga ada yang menuntut kegagalan saya sebagai guide #lapkeringat.

“Kan kita udah masuk nih, nanti disana bayar lagi gak?” tanya satrio. “Uuuumm…sepertinya sih bayar lagi deh, kan beda tempat.” saya mencoba memberikan informasi yang semoga tidak salah. Maka kamipun beriringan menuju pintu keluar.

Dan AKHIRNYA JENG,, JENG,, JENG,, sampai juga di TAMAN WISATA ALAM MAGROVE. Masuk TWA, kita dikenai biaya sebesar Rp 15.000,-/orang. Yang mau sholat tidak usah khawatir karena disana ada mushola yang bisa dibilang cukup apik. (Aslinya saya sangat senang dengan musholanya).


Memasuki area mushola kita harus membuka alas kaki. Dan siapkan mental untuk melewati hamparan papan panas yang menyengat di area tersebut. :mrgreen:

Dari mushola ini kita bisa menikmati teduhnya suasana. Air di bawahnya cukup bening sehingga bisa untuk mengawasi gerombolan ikan yang sedang mencari makan. Dari sini juga kita bisa menikmati indahnya jingga – senja.

Lanjut, kita menuju gerbang masuk. Disana semua makanan dan minuman harus dititip. Jangan khawatir kelaparan atau kehausan karena didalam banyak yang jualan. Oya, kita tidak boleh membawa kamera digital. Hanya kamera HP yang diperkenankan dibawa. Tapi kalau memang berniat hunting photo, kita dikenai biaya masuk 1jt.

Saat itu kami kurang beruntung. Hujan lebat bercampur angin mengguyur TWA dan sekitarnya padahal kami belum sempat mengeksplore hutan mangrove. Alhasil waktu satu jam terlewatkan dan ini beberapa photo kami bersama ketika hujan belum mengguyur kami ...

Picture 1

Picture 2


Dan disini kami terlihat konyol walaupun kekonyolan itu yg kami cari ...

Picture 3

Selvy MAHABARATA pun akhirnya menjadi pose terakhir saya dengan begitu banyaknya pose-pose, disini saya lebih terlihat seperti ARJUNA hehe ...

Picture 4

Saat hujan agak reda, kami memutuskan langsung menuju pantai karena waktu yang tersisa tak lagi mencukupi. Untuk mencapai pantai hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Kita dikelilingi lebatnya pohon mangrove dikiri kanan jalan setapak.

Lembab, sepi, hujan dan hutan, otomatis memberikan efek damai yang dramatis bagi setiap pengunjung. Untuuuuung tempat ini belum terlalu populer dikalangan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Karena apa? Sebab jika terlalu banyak pengunjung, efek suasana alaminya justru akan terkikis.

Di tepi pantai dibuatkan semacam saung untuk berteduh. Dari sini kita bisa mengamati pemandangan pantai yang cukup “menarik”.

Sebagian lahan yang tidak jauh letaknya dari saung itu kita dapat menyaksikan alat-alat berat yang sedang menyulap lahan gambut itu menjadi bangunan elit. Bagaimana bisa? #jujur saya lelah bicara tentang birokrasi negara ini. Apapun bisa jadi asal ada uang, kekuasaan, negosiasi lalu balik lagi ke uang. hufffhh
Dan mengenai air laut yang keruh, sampah berserakan dimana-mana juga merupakan hal yang melelahkan untuk dibahas. Melelahkan, bikin greget sendiri.

Tapi, setidaknya masih ada sisi alami yang masih tersisa, yang masih nikmat untuk dinikmati. Bahwa Kota metropolitan Jakarta masih punya hutan mangrove. Jauh lebih baik dibanding kebisingan jalanan ibukota [yaiyaaalah..hahha].

Baca juga Hutan Mangrove, untuk info lainnya mengenai TWA.
Note : yang saya bicarakan disini merupakan sisi yang mengarah ke pantai, sesuai petunjuk plang yang ada di TWA. Masih ada sisi lain yang jauh lebih indah, terdiri dari hutan mangrove, gardu pandang, rumah rumbia dan yang lainnya – yang sayangnya kami terkendala waktu sehingga tidak sempat mengeksplore. Lain waktu pengen main kesana lagi.

Senin, 20 Oktober 2014

Semangkuk Mie Panas

Pada malam itu Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata, "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?" "Ya, tetapi, aku tidak membawa uang." jawab Ana dengan malu-malu. "Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu. " jawab si pemilik kedai, "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu". Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. " Ada apa, nona?" tanya si pemilik kedai. "Tidak apa-apa. Aku hanya terharu.” jawab Ana sambil mengeringkan air matanya. "Bahkan seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri." katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya."

Ana terhenyak mendengar hal tersebut. "Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.”

Ana segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah: "Ana, kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang". Pada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis di hadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga), khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

TIMUR RIDER'S COMMUNITY

Berawal sekedar iseng dari hobi kami yang cinta TOURING, lalu kami bentuklah COMUNITAS dan kami beri nama CSS (COMMUNITY SLOW SPEDD), COMUNITAS ini tidak bertahan terlalu lama di karenakan PARA ANGGOTA yang kami miliki kurang kompak dalam mengurus dan membangun COMUNITAS INI. Dan pada saat itulah kami berusaha dan mencoba membangun kembali comunitas ini dengan merubah semua pengurus dan mengubah nama COMUNNITY SLOW SPEDD menjadi TIMUR RIDER'S COMUNNTY kalau di singkat "TRC", berdiri  pada tanggal 6 DESEMBER 2010, beranggota kurang lebih 15 0rang dan semakin lama bertambah hingga 30 orang anggota.nama TIMUR RIDER'S COMUNNITY mempunyai arti tersendiri yaitu PENGENDARA MOTOR YANG BERASAL DARI JAKARTA TIMUR. Dengan desaign jaket berwarna merah hitam,merah berarti berani untuk memajukan COMUNITAS ini. dan hitam berarti misterius dalam arti kata di dalam sekolah kami sebagai pelajar dan di luar sekolah kami sbg RAIDERS  TRC, dengan ditengah terselip tanda panah ke arah ke bawah yang berarti kami selalu menghargai dan menghormati orang-orang yang lebih tua dari kami. TIMUR RIDER'S COMUNNTY ini TERBENTUK bukan atas dasar KETENARAN, namun atas dasar PERSAUDARAAN dan SOLIDARITAS. Kami yakin suatu saat nanti TIMUR RIDER'S COMUNNITY ini bisa menjadi COMUNITAS yang dapat di kenal di seluruh masyarakat INDONESIA, jika KEKOMPAKAN masih bersama kami. Adapun EJEKAN ataupun HINAAN yang tak pantas untuk di lontarkan kepada TIMUR RIDER'S CUMNNITY ini. Namun kami PARA ANGGOTA menyikapinya dengan PIKIRAN DEWASA kami anggap itu adalah sebuah pemasukan untuk kami, supaya kami tau kekurangan-kekurangan dan KELEMAHAN yang kami miliki dalam COMUNITAS kami.itulah sejarah COMUNITAS ini terbentuk. Semoga PARA ANGGOTA TIMUR RIDER'S COMUNNTY dapat bertambah KEKOMPKANNYA DAN SEMAKIN BERTAMBAH PULA KESETIAKAWANAN dalam COMINITAS INI ATAUPUN SATU SAMA LAIN.

Arti Orang Tua Untukku

Orang tua adalah segalanya buat gw,,ga ada yang lebih penting dari mereka,,
gw sayang banget sama IBUKU,,

Dia adalah wanita yang paling aku kagumi,,
Walaupun ketidak harmonisan melana keluarga besar kami,,

Tetapi mereka tetap tersenyum di muka umum tuk menutupi luka dan sedihnya,,

Mengandung,melahirkan,menyusui,,dan merawat hinggaku sebesar ini,,
Memberiku makan yang cukup,,
Pendidikan yang layak,,


Sebuah bukupun tak cukup tuk mengungkapkan kebanggaanku tentang,,Pengorbanannya,,

Sebuah pengorbananmu tak mampu kubayar walau dengan nyawaku,,

Yang Namanya Pengorbanan Cinta

Ada cewe sama cowonya lagi boncengan naik motor,
kecepatannya 120 km/jam

ce : ayy, pelanpelan aja aku takut
co : ngga ah, it's fun
ce : ngga asik ah, pliss aku takut
co : kalau kamu mau aku pelanin motornya, bilang kamu sayang aku
ce : ok, aku sayang kamu, sekarang turunin kecepatannya
co : nanti dulu, kalau kamu peluk aku, baru aku kabulin

si cewe peluk cowonya

co : sekarang kamu lepas helm di kepala aku & kamu harus pakai helmnya di kepala kamu

si cewe nurut


keesokan harinya di koran tertulis berita

" sebuah motor menabrak sebuah pohon besar karena remnya blong, ada 2 korban, hanya 1 yang selamat "

mau tau apa yang terjadi sebenarnya ?

di tengah perjalanan si cowo sudah menyadari kalau remnya blong, tapi dia ngga bisa berbuat apaapa, karena kecepatannya sudah 120 km/jam, dia ngga mau bilang ke cewenya karena takut ceweknya panik dan khawatir,
akhirnya dia ngasi helmnya ke cewenya itu supaya cewenya selamat, meskipun dia tau dia akan mati



itulah yang namanya pengorbanan cinta

Kisah Seorang Polisi Yang Menilang Sahabatnya Sendiri

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit!

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.

Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jon.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”

Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

“Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.”

Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela.

Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

“Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan… ….

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

SEPATU

Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia

Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri
Ku senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Ku tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya

Ku senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Ku tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya

Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin tak semua bisa bersatu.

Read more: Tulus - Sepatu